Ubah Sampah Jadi Lukisan, Seniman Muda Ini Raup Puluhan Juta Rupiah

Ubah Sampah Jadi Lukisan – Ketika kebanyakan orang memalingkan muka dari tumpukan sampah yang busuk dan menjijikkan, seniman muda bernama Fadil Prasetya justru melihatnya sebagai kanvas bot spaceman masa depan. Pria asal Yogyakarta ini menolak tunduk pada norma seni konvensional. Ia memungut limbah plastik, logam, kertas, bahkan serpihan kaca dari jalanan dan tempat pembuangan akhir, lalu menyulapnya menjadi karya seni yang membuat penikmat seni ternganga. Harga satu lukisannya? Bisa mencapai Rp40 juta.

Fadil bukan sekadar kreatif. Ia gila. Gila dalam mengeksplorasi medium. Gila dalam menggugat persepsi orang tentang seni. Dan kegilaan itu terbukti manjur. Lukisan-lukisannya tidak hanya di pajang di galeri seni lokal, tapi juga di buru oleh kolektor dari luar negeri. Mereka tak lagi melihat ‘sampah’, tapi energi, emosi, dan pesan sosial yang membakar.

Teknik Brutal, Ubah Sampah Jadi Lukisan

Bukan kuas halus yang ia gunakan. Fadil memakai potongan seng, kawat, hingga pecahan CD untuk menorehkan warna dan tekstur ke kanvas daur ulangnya. Prosesnya terdengar seperti aksi vandal: menyobek, membakar, menindih, menghantam namun di situlah letak kejeniusan Fadil. Ia tidak sekadar menciptakan lukisan; ia menciptakan ledakan emosi visual.

Satu karyanya yang berjudul “Diam Itu Busuk”, misalnya, menggambarkan wajah manusia yang di susun dari masker bekas, sisa bungkus makanan, dan kawat tembaga terbakar. Karya ini berhasil di lelang senilai Rp36 juta di sebuah acara amal seni kontemporer. Padahal, semua bahan yang di gunakan Fadil dalam karya itu nyaris tak bernilai. Ironis? Justru di sanalah letak sindiran tajamnya: masyarakat yang bisu dan permisif terhadap krisis lingkungan, namun memuja estetika ketika di bungkus label seni.

Kritik Sosial yang Membakar

Karya Fadil bukan sekadar eksperimen estetika, tapi peluru tajam kritik sosial. Ia menggambarkan kegelisahan kaum muda yang tercekik oleh budaya konsumtif, banjir plastik, dan krisis iklim. Ia menyampaikan pesan bahwa apa yang kita anggap remeh sampah sebenarnya cermin dari mentalitas kita sendiri.

Baca Berita Lainnya Juga Hanya Di savagestudios.org

Di studio kecilnya yang terletak di pinggiran Sleman, tumpukan sampah terorganisir seperti palet warna. “Gue enggak butuh cat mahal buat ngomong soal dunia yang udah kebanyakan polesan,” ucap Fadil dengan nada tajam. “Yang gue butuh cuma realitas dan sayangnya, realitas kita itu busuk, bau, dan nyampah.”

Dari Lorong Sempit ke Panggung Internasional

Perjalanan Fadil bukan kisah mulus yang dibumbui dukungan modal. Ia memulai dari gang sempit, berjualan lukisan kecil dari sisa-sisa kardus dan plastik kresek. Tapi ketekunannya dalam menjadikan limbah sebagai bahasa seni membawanya menembus ajang pameran internasional seperti Art Basel Online dan Jakarta Contemporary Art. Ia bahkan pernah mendapat undangan residensi seni di Berlin, yang kemudian menjadi titik balik reputasinya.

Karyanya yang bertajuk “Perjamuan Terakhir Konsumen Modern” memicu kehebohan di Jerman. Lukisan selebar dua meter ini menampilkan meja makan yang disusun dari sampah makanan cepat saji dan plastik berlapis resin. Kritikus seni menyebutnya “brutal, indah, dan sangat menyakitkan.”

Seni yang Tidak Takut Kotor

Fadil Prasetya bukan seniman yang bermain aman. Ia tidak menciptakan keindahan yang steril. Ia bermain di jurang, mengacak-acak kenyamanan visual, dan menyuguhkan kengerian yang jujur. Ia menampar publik dengan realitas melalui seni. Dan di tengah masyarakat yang lebih peduli estetika Instagram daripada kondisi lingkungan, keberanian seperti inilah yang menyetrum.

Melalui karya-karyanya, Fadil seolah menjerit: jika seni tidak bisa menjadi cermin dari kehancuran yang sedang kita pelihara, untuk apa seni itu ada?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *