Pakar Ungkap Alasan Figur Panutan Sering Jadi Pelaku Kekerasan

Pakar Ungkap Alasan Figur – Di mata publik, mereka tampak sempurna—berwibawa, religius, berprestasi, dan berpengaruh. Namun siapa sangka, di balik wajah teduh dan kata-kata bijak yang kerap di lontarkan, tersembunyi sisi gelap yang menjijikkan. Para pakar psikologi sosial mengungkap fakta mencengangkan: figur panutan, termasuk tokoh agama, guru, selebritas, hingga pemimpin organisasi, justru memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk menjadi pelaku kekerasan seksual.

Mengapa ini bisa terjadi? Jawabannya mencengangkan dan membuat kita bertanya-tanya sejauh mana sebenarnya kita bisa mempercayai sosok yang di anggap sebagai simbol moral dan etika.

Simbol Kuasa dan Kekebalan Sosial

Menurut para ahli, posisi sebagai figur panutan memberikan seseorang “perisai sosial”. Mereka di lindungi oleh citra, reputasi, dan kekaguman publik. Ketika tuduhan muncul, masyarakat cenderung menyangkal fakta, menyalahkan korban, atau menolak realitas. Inilah yang di sebut sebagai halo effect slot bonus new member, sebuah bias kognitif yang membuat kita melihat orang yang kita anggap baik sebagai tak mungkin berbuat salah.

Figur panutan memanfaatkan kepercayaan ini. Mereka tahu bahwa status mereka membuat korban sulit bersuara, terlebih jika korban adalah anak-anak, remaja, atau orang-orang yang tergantung secara emosional maupun finansial. Kekuasaan yang di balut kebaikan ini menjelma menjadi alat manipulasi yang kejam.

Lingkungan yang Kompak Menutup Mata

Lebih mengerikan lagi, kekerasan seksual oleh figur panutan sering terjadi dalam sistem yang melindungi pelaku. Institusi seperti sekolah, organisasi keagamaan, hingga komunitas seni lebih sering memilih “menjaga nama baik” di bandingkan menyelamatkan korban. Pelaku tidak hanya di biarkan, tapi sering di pindahkan, di bela, bahkan di beri panggung lagi.

Budaya tutup mulut ini di perparah oleh rasa malu korban dan tekanan dari lingkungan sekitar. Dalam banyak kasus, korban yang berbicara justru di kucilkan, di anggap mencemarkan nama baik, bahkan di tuduh membuat fitnah.

Manipulasi Emosi dan Gaslighting

Satu hal yang tak kalah berbahaya: pelaku sering menggunakan teknik manipulasi psikologis. Mereka membuat korban merasa “dicintai”, “istimewa”, bahkan menyebut kekerasan sebagai bentuk kasih sayang. Ketika korban mulai menyadari kekeliruan, pelaku akan melakukan gaslighting, membalikkan fakta dan membuat korban ragu terhadap ingatannya sendiri.

Inilah cara kekerasan berlangsung dalam waktu lama tanpa di ketahui. Korban diam, pelaku terus bergerak bebas, dan masyarakat tetap memuja tanpa curiga.

Saatnya Merobek Topeng

Citra bukan jaminan moralitas. Kita hidup di zaman di mana kebenaran harus di kuliti dari balik topeng yang rapi. Jangan mudah terpesona oleh jabatan, gelar, atau keramah-tamahan. Tanyakan lebih dalam. Dengar suara korban. Goyang sistem yang terlalu lama membiarkan kekerasan tumbuh dalam bayang kekaguman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *